melanie subono
by melanie subono

Film An Inconvenient Sequel: Truth to Power sungguh bikin kita mengerti, manusialah predator paling jahat. Bahwa Bumi tak butuh manusia untuk hidup, tapi manusia tak bisa hidup tanpa Bumi!

Yes, lo tidak sering melihat seorang Melanie menangis. Gue tahu, dialog dalam film bertugas membawa kita pada kesedihan seperti ada dalam cerita; atau marah, atau apa pun perasaan yang berusaha ditanamkan sang sutradara pada penonton. Tapi, berbeda dengan dokumenter atau film berdasar true story, dialog apa pun yang keluar gue tahu itu benar terjadi.

Dan itulah yang terjadi. Pada potongan kalimat di dokumenter tentang perubahan iklim An Inconvenient Sequel: Truth to Power, gue benar-benar harus paused film ini dan berpikir. Berpikir sangat keras. Dan meneteskan air mata.

Kapan terakhir kali kita benar-benar melihat matahari terbit? Kapan terakhir melihat matahari terbenam? Kapan? Saat kita di rumah sendiri, BUKAN ke sebuah area yang memang terkenal dengan sunset dan sunrise-nya, kapan?

Terlalu banyak gerakan dan dokumenter yang dibuat aktivis yang gak bisa menjelaskan, or terlalu membosankan dalam menjelaskan apa yang namanya climate change atau global warming, sehingga kini anak muda umumnya tidak paham, atau tidak tertarik, pada isu yang bisa menenggelamkan rumahnya sendiriBut, di film yang diproduseri Jeff Skoll ini, penggambaran apa yang sudah terjadi pada bumi dan apa yang akan terjadi kalau kita tetap diam, digambarkan sangat jelas.

Jeff Skoll adalah presiden pertama eBay – kini salah satu perusahaan e-commerce dan situs lelang online terbesar di dunia -- yang akhirnya menyumbangkan kekayaannya untuk menjadi filantrofis dan mendedikasikan dirinya untuk hal-hal seperti ini. Pengalaman di perusahaan sebelumnya gue rasa mengajarinya “cara berjualan” yang baik, sehingga film ini benar benar menarik perhatian dan menghasilkan lima kali lipat dari bujet pembuatannya .

“Kunci” lain, otak sekaligus aktor utama film ini, tentu Al Gore, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat era kepresidenan Bill Clinton dan aktivis lingkungan terkemuka. Ia konsisten menyerukan pada negara-negara di dunia agar berinvestasi pada energi terbarukan agar bumi bisa hidup lebih lama lagi.

So, saat di hari yang sama sedang beredar viral foto menyedihkan di Instagram tentang beruang kutub kelaparan, badai di Amerika, atau banjir di Jakarta, dan kita HANYA BISA memberi emoticon sedih, sementara FILM INI MENJELASKAN APA YANG MEMBUAT ITU TERJADI BESERTA SOLUSINYA.

Cuplikan dokumentasi yang dimasukkan, menurut gue, adalah hal PALING MENAMPAR di film ini. Bukan settingan, tapi kumpulan footage kejadian nyata yang harusnya gak sulit kita rasakan. Apa yang terjadi di film ini sudah terjadi dalam keseharian hidup kita, baik itu angin kencang amat liar, air laut yang meluap, udara panas tak karuan, banjir rob padahal tidak musim hujan, dan banyak hal lain.

Kita bisa melihat tangisan yang bukan akting saat keluarga kita ditemukan di bawah air, hanyut, atau melihat sisa-sisa es di kutub, binatang, pohon yang hancur semua atas perbuatan banyak perusahaan yang berpikir uang terbanyak itu terkandung hanya ada di gas, batubara, dan minyak. Tanpa memikirkan hasil. Tanpa berpikir anak cucu mereka nanti masih bisa melihat matahari.

Kurang familiar?

Bahkan di film ini, ada PRESIDEN INDONESIA, Bapak Joko Widodo dalam kehadirannya di COP-21 (Conference of the Parties 21) di Paris. No, kita gak dibuat bosen kayak film dokumenter lain, malah kita diajak bermain emosi dan hati di film ini.

Film ini akhirnya ngasih kejelasan hal keseharian dengan cara paling sederhana. Kita akan mengerti apa hubungan air laut dengan panas? Apa hubungan panas kok bikin badai? Apa yang terjadi kok ada satu negara yang melarang warga perempuannya untuk hamil?

Kita dibuat mengerti, manusialah predator paling jahat. Kita dibuat mengerti Bumi tak butuh manusia untuk hidup, tapi manusia tak bisa hidup tanpa Bumi.

Gue sangat berharap setiap orang mau meluangkan 99 menit dari jam sinetron atau jam drama mereka, untuk menonton film ini. Mungkin akhirnya semua akan terjawab.

“Mengapa kita tak pernah lagi melihat matahari terbit? Di mana matahari terbit dan terbenam? Mengapa langit tak lagi biru, seperti kata buku cerita?“ – Melanie Subono

*) Melanie Subono adalah penyanyi, penulis, aktris, aktivis lingkungan hidup dan hak-hak asasi manusia. Ia memerani Ida, sahabat Wiji Thukul dalam pelariannya di Pontianak dalam Istirahatlah kata-kata (Solo, Solitudebesutan sutradara Yosep Anggi Noen.