wiseguy
by wiseguy

Gaet penghargaan di berbagai festival, sempat diputar secara terbatas di bioskop tanah air, Istirahatlah Kata-Kata alias Solo, Solitude akhirnya eksklusif tayang streaming di CatchPlay sejak 31 Mei lalu. Inilah pengakuan sang sutradara tentang betapa film ini penting bagi anak muda, setelah  20 tahun Widji Thukul hilang dan tak pernah pulang hingga hari ini.

Pena lebih berbahaya dari pedang, begitu ungkapan klasik untuk gambarkan betapa kata-kata bisa sangat tajam, setajam pedang. Alasan itu pula yang diberlakukan bagi Widji Thukul; penyair, musisi, aktor teater, dan aktivis hak-hak asasi manusia. Kata-katanya dinilai penuh daya; mampu menyalakan nyali ribuan orang, dan pada saat yang sama bikin murka penguasa. 

Pada tahun 1997-1998, aktivitas Widji Thukul dianggap mengganggu kelangsungan penguasa Orde Baru. Puisinya dinilai penuh kritik dan bermuatan politis. Sepotong kata-katanya yang terkenal, “Hanya satu kata: Lawan!” dituding menggerakkan ribuan buruh turun ke jalan untuk berdemo, yang berbalik arah melawan rezim penguasa. Widji Thukul, seniman bertubuh kecil kelahiran Surakarta 26-08-1963 itu, ditakuti pemerintahnya sendiri, dianggap salah satu dalang pemberontakan, dan jadi orang paling dicari penguasa masa itu. Ia dinyatakan hilang sejak diduga diculik, pada 27 Juli 1988. Sejak itu ia tak diketahui keberadaannya hingga hari ini.

Film Istirahatlah Kata-Kata mengungkap perjalanan Widji Thukul di hari-hari terakhir pelariannya di Pontianak, Kalimantan. Dikejar-kejar aparat, berpindah dari satu rumah ke rumah lain, dengan identitas baru ia berusaha mendapatkan pekerjaan, muncul di muka publik, dan memberanikan diri pulang ke Surakarta untuk menemui isterinya, Sipon, dan anak-anaknya.

Disutradarai Yosep Anggi Noen, dibintangi Gunawan Maryanto yang memerani Widji Thukul dan Marissa Anita sebagai Sipon, serta didukung Melanie Subono, Eduwart Boang Manalu, Dhafi Yunan dan Joned Suryatmoko. Istirahatlah Kata-Kata mendapat pujian di hampir semua media. Selain diunggulkan di mana-nama, film dengan versi judul bahasa Inggris Solo, Solitude ini gaet Golden Hanoman Award di ajang Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2016 (Film Terbaik), Usmar Ismail Awards 2017 (Sutradara Terbaik, Aktor Terbaik), serta Bangkok ASEAN Film Festival 2017 (Film Terbaik).

Diwawancarai melalui email, Yosep Anggi Noen yang kelahiran Kali Duren, Yogyakarta dan mengenyam pendidikan di Jurusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada itu mengungkap bagaimana ia terlibat film ini dan pentingnya anak muda menontonnya.

Sutradara yang sebelumnya pernah menggarap sejumlah film pendek, dan film panjang pertamanya Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya gaet Special Mention Award di Vancouver International Film Festival 2013 itu, kini sedang menggarap The Science of Fiction, yang pendanaannya antara lain didukung Asian Cinema Fund.

FILM INI PINTU MASUK BAGI ANAK MUDA!

Bagaimana Istirahatlah hadir ke tangan Anda?

Saya ditawari untuk menjadi bagian film ini sebagai sutradara. Para produser memulainya dengan program yang menghadirkan kembali ingatan tentang isu-isu orang hilang, seperti dengan gerakan Barisan Pengingat dan pembuatan mural-mural puisi di beberapa titik di Jakarta.

Apa hal paling menarik dan paling dari proyek ini? Tantangan terbesarnya?

Tokoh yang difilmkan! Widji Thukul dengan puisi-puisinya membawa saya ke masa lalu, saat rezim otoriter berkuasa dan demokrasi jadi salah satu hal terbesar yang diperjuangkan.  Saya tak punya persentuhan langsung dengan proses anak-anak muda zaman itu untuk berkeras hati dan bergerak memperjuangkan demokrasi, jadi merasa dekat dengan perjuangan-perjuangan itu. Proses kreatif menelusuri Widji Thukul adalah proses belajar sejarah buat saya. Film ini bisa jadi pintu masuk bagi anak muda masa kini melihat lagi sejarahnya sendiri.

Kami bekerja dengan puluhan kaum muda yang berkesempatan belajar dan mengenal sejarah. Beberapa dari kami lalu bahkan bertemu tokoh asli Martin Siregar, aktivis yang jadi induk semang Widji di Pontianak. Ia datang ke lokasi syuting dan membagi pengalamannya. Proses membuat film ini akhirnya jadi jembatan antar-generasi.

Menang di sejumlah festival, ini sesuatu yang Anda duga atau merasa sebagai kejutan?

Semangat terbesar saat memproduksinya adalah menunjukkannya kepada penonton muda.

JADI SUTRADARA MEMBERI SAYA RUANG UNTUK BELAJAR

Di antara semua pilihan di dunia sinema, mengapa Anda memilih jadi sutradara?

Menjadi sutradara memberi saya ruang untuk belajar terus-menerus tentang manusia dan kemanusiaan.

Memang cita-cita Anda sejak kecil adalah…?

Saat di bangku SD saya beberapa kali membuat pentas drama di sekolah.

Harapan Anda bagi penonton “Istirahatlah”?

Penonton bisa menikmati film ini dengan khusuk, dan mengingat negeri ini pernah punya sejarah kelam.