wiseguy
by wiseguy

Memerani Martin Siregar, sahabat Wiji Thukul dalam pelariannya di Pontianak, aktor Eduwart Boang Manalu menegaskan Istirahatlah kata-kata sebagai pengingat sejarah bagi generasi milenial. Simak wawancaranya!

Istirahatlah Kata-Kata perlu ditonton orang Indonesia,” kata aktor dan sutradara Eduwart Boang Manalu, tentang besutan sutradara Yosep Anggi Noen yang di mancanegara dirilis dengan judul Solo, Solitude itu. “Bukan karena saya main di dalamnya, tapi ini menggambarkan sebagian proses penting terbukanya keran demokrasi dan sejarah reformasi yang belum lama berlalu. Anak muda generasi milenial harus nonton!” tuturnya.

Seni peran dan panggung teater adalah kegairahan Edo, panggilan akrab Eduwart. Lahir pada 20 Februari 1984 di Sumatera Utara, dibesarkan di Bogor, sejak di bangku SMP ia sudah tertarik kegiatan drama. Setelah lulus SMK Jurusan Tata Boga, Bogor, ia tak lagi mengejar cita-cita bekerja di kapal pesiar karena biaya yang di luar kemampuan orangtuanya. Seorang teman kemudian mengajaknya bergabung dengan Teater Populer pimpinan Slamet Rahardjo, yang kala itu butuh aktor untuk sandiwara TVRI.

Setelah menggeluti teater selama belasan tahun, Edo mendapatkan debutnya sebagai aktor layar lebar lewat besutan Lukman Sardi, Di Balik 98. Dalam film tentang gerakan reformasi tahun 1998 yang dibintangi Chelsea Islan, Boy William, Donny Alamsyah dan Alya Rohali itu, Edo memerani tokoh Amien Rais. Tapi lewat Istirahatlah Kata-Kata, film indie yang tak banyak diputar di bioskop tanah air, keaktoran Edo mulai banyak dibicarakan. Apalagi film ini memenangi sejumlah kategori penghargaan festival film, baik di tanah air maupun mancanegara.

Ia saya temui di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta, usai pementasan Takut, drama yang disutradarainya berdasarkan naskah karya Jesus T. Peralta. Takut mengisahkan keluarga yang berantakan gara-gara sang ayah selalu ketakutan, ibu yang dominan, dan anak-anak yang gelisah dengan urusannya sendiri.

AKTOR TAK SEKADAR AKTING MARAH DAN MENANGIS

Apa yang ingin Anda sampaikan lewat Takut? Sebagai sutradara, apa yang ingin Anda capai?

Ini tentang pentingnya komunikasi dan saling memahami bagi tiap orang dalam sebuah keluarga; orangtua dengan anak, begitu juga sebaliknya. Takut  juga wujud ekspresi kami, yang belajar dan bermain setelah sekian lama di teater dan seni pertunjukan; dan cara berbagi pengalaman dengan teman-teman. Kami kumpulan teman satu sanggar.

“Ketika saya bertemu Martin, ia menangis mengenang Wiji Thukul sebagai seniman unik, orang sangat baik, dan zaman yang mudah melenyapkan nyawa begitu saja.” 

Seperti apa perkembangan teater di Indonesia? Bagaimana animo anak muda?

Pesat dan bagus! Saat tur ke beberapa kota – Yogya, Pontianak, misalnya – saya jumpai banyak anak muda yang ingin terjun ke teater. Sayangnya mereka punya semangat instan; ingin cepat terkenal, masuk TV, bermain di film layar lebar sesegera mungkin, sering tak bersedia melewati banyak prosesnya. Dibesarkan 12 tahun di sanggar, tak hanya akting, kami belajar rasa dan peka lingkungan, membedah kehidupan dan identifikasi peran. Akting bukan sekadar bagaimana marah atau menangis.

Apa pengalaman di Teater Populer yang Anda transfer ke mereka?

Ilmu kehidupan! Teater adalah tentang bagaimana kehidupan di bumi. Ketika memerani karakter, kita harus peka terhadap kehidupan.

MARTIN SIREGAR, YANG MENYEMBUNYIKAN WIJI THUKUL

Proses terpilihnya Anda sebagai pemeran Martin Siregar?

Saya ditelepon Mbak Yulia Evina Bhara, produser Istirahatlah Kata-Kata, yang meminta saya datang ke kantornya. Ia bilang akan bikin film Wiji Thukul, dan saya diminta memerani Martin Siregar; aktivis, sahabat sekaligus di rumah dia Wiji Thukul tinggal saat di Pontianak.  Martin tokoh sangar dan menakutkan bagi banyak orang, dan saya dianggap aktor yang pas, karena saya juga Batak. Dua hari kemudian, saya terbang ke Pontianak dan langsung syuting. Di lokasi, saya bertemu Martin yang sebenarnya.

Seperti apa pendalaman karakter Martin, dan bagaimana mempelajari Wiji Thukul?

Tak ada waktu, dan hanya beberapa menit sebelum syuting. Martin yang saya temui adalah sosok jenaka dan slengekan; tak sesangar yang diceritakan orang, yang kutu buku, kecanduan hal-hal filosofis. Dalam waktu yang sangat singkat, saya harus “mengosongkan diri” agar Martin Siregar bisa masuk dalam diri saya. Gunawan Maryanto beruntung bisa mendalami Wiji Thukul selama dua-tiga tahun sebelum memerani karakternya di depan kamera.

Apa yang Anda ingat saat Gerakan Reformasi 98 bergulir, dan peristiwa penculikan Wiji Thukul?

Saat itu saya 13 tahun, kelas 2 SMP di Cilengsi, Bogor. Gerakan reformasi terjadi, juga kerusuhan dan penjarahan besar terutama di Jakarta. Orangtua melarang keras saya keluar rumah. Mereka bilang, sebagai anak laki-laki Batak, jangan berada di tempat kerusuhan, jangan jadi anak hilang, jangan terjadi sesuatu pada saya. Istirahatlah jadi amat menarik karena ini terjadi pada periode yang sama, tentang seniman dan aktivis yang memperjuangkan nasib banyak orang, tapi kemudian dihilangkan. Martin Siregar jadi karakter menarik dan gila yang harus saya mainkan.

Seperti apa penyutradaraan Yosep Anggie?

Yosep meminta kami menafsirkan dengan cara kami sendiri-sendiri. Ia bilang, ‘Saya mau lihat keaktoran kalian, jadi nggak perlu banyak mengarahkan kalian.’ Ia percaya aktor-aktornya mengenal ruang, mengenal cerita, bukan boneka. Meski di kemudian hari saya tahu ada satu adegan tak pas, Yosep membiarkannya, dan kamera tetap merekam.  

Ada beban memerani karakter di film biopik dan historis ini?

Saya tak peduli tampang saya akan keren atau jelek, yang saya peduli ini tentang sejarah yang belum terlalu lama, tokoh yang saya perani masih hidup. Itu yang membuat saya harus lakukan yang terbaik. Terima kasih untuk kesempatan yang diberikan Mbak Yulia dan Yosep Anggi!

Ketika Anda menonton film ini, dan menempatkan diri sebagai penonton biasa, apa yang terlintas di pikiran?

Kejam benar zaman saat itu. Saat saya bertemu Martin, ia menangis mengenang Wiji Thukul sebagai seniman unik, orang sangat baik, dan zaman kejam yang dengan mudah melenyapkan nyawa begitu saja.

Yang Anda harapkan dari penonton Istirahatlah?

Tahu dan sadar Wiji Thukul tokoh yang benar-benar ada, yang ikut membuka keran demokrasi, dan hingga kini lenyap secara misterius.  Ini film tentang kekuatan kata ‘Lawan!’ yang mampu menggerakkan banyak orang; buruh, mahasiswa, dan aktivis. Ini tentang kesadaran sejarah, dan generasi milenial perlu menontonnya!

EDO, LIMA atau SEPULUH TAHUN LAGI

Seperti apa Edo lima atau sepuluh tahun ke depan?

Saya akan terus menggali bidang ini. Saya akan terus berakting.    

 

-  ISTIRAHATLAH KATA-KATA bisa ditonton hanya di CATCHPLAY on demand.