Ia jadi rumpian sedunia gara-gara pacaran sesaat dengan Taylor Swift dan rumor the next James Bond. Padahal, demi akting ia rela gugurkan cita-cita jadi atlet rugby. Lewat Kong: Skull Island, Tom Hiddleston buktikan kemampuan dan daya jualnya.
“Jangan berhenti mengejar mimpimu, jangan takut menaruh hatimu untuk hal yang kau cintai...” – Tom Hiddleston
Jangan merasa bersalah jika Anda baru mulai jadi movie lover dan belum lama kenal Tom Hiddleston. Lewat berita gosip, dalam satu tahun terakhir nama pria ini meroket gara-gara pacaran -- dan putus cepat -- dengan Taylor Swift; penyanyi populer saat ini, yang meratui tanggal lagu, meraih Grammy Awards berkali-kali, dan sedang bersaing dengan almarhumah Putri Diana yang legendaris sebagai “perempuan paling banyak dipotret”. Berpacaran dengan cewek yang suka gonta-ganti pacar itu, mau tak mau akan jadi bulan-bulanan paparazzi.
Rumor yang menyebut Tom calon agen rahasia 007 berikutnya – gara-gara Daniel Craig ragu lanjutkan peran James Bond-nya itu -- makin bikin Tom terkenal lewat infotainmen.
Tapi Tom lebih dari sekadar selebriti infotainmen. Ia punya banyak hal untuk ditawarkan dan mampu yakinkan sutradara Jordan Vogt-Roberts memilihnya sebagai ilmuwan James Conrad, pemeran utama dalam Kong: Skull Island.
Asal tahu saja, sang sutradara ternyata juga setengah mati meyakinkan jajaran eksekutif di Warner Bros untuk memilihnya membesut film ini. Maklum, Jordan selama ini sutradara film indie, dan satu-satunya persamaan Kong dengan film yang pernah dibesutnya adalah Kings of Summer (2013), itu pun hanya pada latar hutan yang banyak pepohonannya! Tapi ia menjanjikan, film besutannya ini bukan cerita tradisional ala Beauty and the Beast, atau kisah perempuan lajang pendamba pacar dan akhirnya kasmaran dengan mahluk aneh.
Kerja keras Jordan dan Tom tak sia-sia. Lewat aktingnya, Tom mampu sejajarkan diri dengan sederetan bintang besar pendukungnya: Brie Larson, Aktris Terbaik di ajang Oscar 2015 lewat Room, yang memerani wartawan foto Mason Weaver. Juga Samuel L. Jackson, John C. Reilly, John Goodman, Corey Hawkins, John Ortiz, dan Tian Jing. Sementara visi Jordan untuk me-reboot legenda King Kong menjadi tontonan dahsyat yang “segar” dan “terkini” akhirnya tercapai.
Film berbujet terbesar sepanjang sejarah seri “Legendary’s Monster Verse” ini kini jadi tontonan terlaris nomor tujuh tahun ini (setelah The Fate of the Furious, Guardian of the Galaxy 2, Wonder Woman, Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No. Tales, dan Logan).
Tom, dengan atau tanpa Swift dan Bond!
Kini Tom Hiddleston, pria santun yang murah senyum dengan kesuksesan Kong, diam-diam jadi sensasi berikutnya di Hollywood. Dengan atau tanpa dikaitkan Swift dan Bond!
Lalu, apa menariknya Kong bagi Tom? Ia punya banyak alasan. “Aku suka kisah-kisah besar, dan mitos selalu termanifestasikan dalam budaya kita. Jika melihat mitologi Yunani, karakter di opera, atau superhero era kini, sebagian wujudnya adalah mitos modern. Selalu ada tempat di hati kita mitos yang merefleksikan kehidupan dan perasaan kita,” ungkapnya panjang lebar.
Jika Anda pernah menonton seri King Kong di masa lalu, Kong: Skull Island menjadi berbeda karena menampilkan efek dengan semangat kekinian yang segar. Mengisahkan sekelompok ilmuwan, tentara, dan petualang, bekerja sama mengeksplorasi pulau mistis yang tak terjamah sebelumnya di Samudera Pasifik. Mereka terputus hubungan hingga sampai pada habitat Kong, yang menimbulkan konflik hebat manusia versus alam. Misi mereka pun berubah menjadi upaya menyelamatkan diri. Di antara yang selamat adalah James Conrad, diperani Tom.
Tom -- kelahiran Westminster, London dari ibu berdarah Inggris, Diana Patricia, dan ayah Skotlandia, James Norman Hiddleston, sesungguhnya bukan sosok asing di dunia seni peran. Sang ibu adalah mantan manajer pertunjukan, dan ayahnya adalah ilmuwan yang berkarier di perusahaan farmasi. Tom tertarik seni peran sejak kecil.
Di usia 13 orangtuanya bercerai, padahal ia baru mulai di lingkungan sekolah Eton College. Ia melanjutkan ke University of Cambridge mempelajari seni klasik, yang dilanjutkan studi akting di Royal Academy of Dramatic Art, dan lulus pada 2005. Demi akting, atlet kampus ini rela menanggalkan cita-cita lain yang pernah ia pikirkan serius: jadi atlet rugby profesional.
Semasa mahasiswa, ia ditemukan sebuah agensi yang kelak membuatnya sukses tampil di produksi A Streetcar Named Desire. Sejak itu, peruntungannya berlanjut. Ia tampil di televisi pertama kalinya dalam The Life and Adventures of Nicholas Nickleby (2001). Film layar lebarnya yang pertama adalah besutan Joanna Hogg yang meraih penghargaan, Unrelated (2007).
Hollywood lebih mengenalnya saat Tom memerani karakter Loki dari Marvel Cinematic Universe, Thor (2011), dan melanjutkan karakter itu dalam The Avenger (2012), Thor: The Dark World (2013), Thor: Ragnarok (2017), serta Avengers: Infinity War (2018). Yang tak terlupa, ia tampil dalam besutan Steven Spielberg, War Horse (2011), juga The Deep Blue Sea (2011), besutan Woody Allen Midnight in Paris dan Only Lovers Left Alone (2013). Ia juga terlibat film televisi hasil adaptasi drama Shakespeare. Aktingnya di panggung saat berperan dalam “Cymbeline” membuatnya memenangi penghargaan prestisus, Laurence Olivier Award for Best Newcomer in a Play.
Di tahun 2015 ia sempat bikin kontroversi ketika memerankan penyanyi country legendaris Amerika yang mati muda: Hank Williams dalam I Saw the Light. Namun di film yang mempertemukannya dengan kekasihnya di kala itu, Elizabeth Olsen ini, Tom bukan hanya membuktikan keaktorannya, tapi juga kebolehannya main musik dan olah vokal. Tentu, yang juga tak terlupa adalah Golden Globe 2017 yang ia raih untuk kategori Aktor Terbaik dalam Seri atau Film untuk Televisi atas perannya dalam The Night Manager (2016).
“Aku tak pernah berhenti bermimpi,” kata pria yang suka bermain piano, gitar, biola dan terompet ini, suatu ketika. “Jangan berhenti berjuang mengejar mimpimu, jangan takut menaruh hatimu untuk hal yang kau cinta...”