Vincent Vega
by Vincent Vega

Sineas Monty Tiwa lebih dikenal sebagai raja film komedi. Ternyata, pas bikin film horor, seramnya bukan main, judulnya Keramat rilisan 2009. Seseram apa sih? Simak deh cerita Monty di balik proyek cult itu.  

Orang tahunya film Monty hanya mengundang tawa. Judul seperti Roman Picisan, Shy Shy Cat, Aku, Kau & KUA, Get M4rried, hingga Wakil Rakyat sukses dibesutnya. Soal ini pernah dikupas di Monty Tiwa: Raja Komedi Lokal.

Roman Picisan

Btw, pernah tahu kan kalau dia juga bisa bikin film horor? Keramat yang dibuatnya memakai pendekatan dokumenter komplet dengan handheld camera dan nama asli pemainnya. Saat itu kan lagi musim syuting found footage ala Blair Witch Project… Biar lebih dekat dengan kenyataan kan? Banyak orang bilang, faktor inilah yang bikin filmnya semakin angker. 

Kritikus Ekky Imanjaya misalnya. Dia memasukkan film ini dalam 33 Film Indonesia Terpenting 2000-2009 pilihan rumahfilm.org. “Menyenangkan sekali ada film horor Indonesia yang benar-benar seram tapi membuat kita betah dan terus di tempat duduk, macam Keramat ini,” begitu katanya.

Film yang dibintangi oleh Poppy Sovia, Migi ParahitaSadha Triyudha, dan Miea Kusuma sampai saat ini bahkan masih bikin netizen ketakutan. Akun @ferdiriva misalnya, penulis yang juga dokter spesialis mata ini mencuit “Gue nyesel malam-malam nonton Keramat.” 

Lantas, simak juga akun @datarakanalada yang seolah ikut tersihir. “udah lah adegan pocong melompat-lompat di depan handcam yg terjatuh mah udh scene paling terbaik itu.”

Sepuluh tahun berlalu, asik nih ngecek ocehan Monty seputar film yang tersedia di CATCHPLAY ini. Ternyata, ceritanya pun nggak kalah horor. So, enjoy this one. 

 

Tentang skenario yang dipakai. Itu outline plus improvisasi di lapangan atau murni scripted?

Setelah 10 thn, melihat lagi ke belakang. Saya sadar bahwa proses ini terlalu ugal-ugalan dan nekat. Kami bergerak hanya berdasarkan outline general yang ada di kepala saya dan tanpa panduan skenario tertulis…

 

Oke, menarik... tapi jelasnya bagaimana tuh?

Untuk kru biasanya saya kabari 3-4 jam sebelum syut tentang garis besar scene yang akan kita syut, agar bisa persiapan kebutuhan artistik, wardrobe dsb. Sementara untuk para pemain, saya baru beritahu 10 menit sebelum adegan dimulai tentang scene yang akan disyut. Scene yang kami syut itu linear sesuai urutan kejadian. Jadi tidak ada yang namanya jumping scene seperti proses shooting film pada umumnya. Misalnya: hari pertama kami shoot scene 1, 2 dan 3. lalu besoknya scene 4, 5 , 6.  dst.  Kalau masalah improvisasi, ya dan tidak. Karena begini, 10 menit sebelum syut, saya hanya memberitahu pemain garis besar apa yang harus terjadi di scene itu. Dialognya terserah mereka. Misalnya: “kalian akan masuk ke pintu kamar Migi, tapi kalian nggak akan tahu apa yang ada di dalam. Kalian masuk saja dan lakukan yang dirasa natural”.

 

Kamera jenis apa yang dipakai saat itu?

Panasonic P2 dan setelah syuting, kamera itu kayak “kemasukan” (tertawa)... Sering hilang di kantor meskipun kami simpan di lemari yang dikunci. Nanti tiba-tiba nongol lagi. Lucu juga ya. Sudah pernah mau dijual tapi nggak laku-laku. Sekarang sih udah nggak akan ada yang mau beli, wong udah teknologi jadul dibanding kamera kekinian.

 

Murni handheld atau pakai alat bantu kayak tripod gitu?

Syutingnya handheld semua. Hanya ada 3 shot yang tidak handheld yaitu shot di kamar Migi ketika dia mulai sakit, lalu saat pemunculan pocong dan shot terakhir di film ketika mulai ada gempa. Di semua shot itu , kamera diletakkan di tanah.

 

Dulu pernah bilang: di Keramat itu setannya beneran. Serius kayak gitu?

Ada 2 yang beneran terekam. Satu berupa visual, satu lagi hanya audio. Yang audio, bila penonton teliti ada scene malam harı, terdengar suara drumband militer. Kami syut itu di desa Segoroyoso, Bantul jam 2 subuh. Penduduk setempat sudah biasa mendengar suara derap kaki tentara dan drumband militer itu meskipun tanpa wujud. Sementara yang visual, ada sebuah penampakan perempuan di mana saya sendiri saat memegang kamera juga ikut kaget hingga kamera bergoyang dan hampir jatuh. Sadha yang ada di depan kamera, bingung saat melihat muka saya pucat, dan dia bertanya “Kenapa sih?”. Saat itu cuma ada saya, Sadha dan kamera saja. Kru kami ada 200 meter di belakang. Karena nggak mungkin mereka dekat-dekat sebab kamera saya memutar 360 derajat. Makanya saya minta semua kru agar tidak ikut saat itu supaya tidak bocor di kamera. Itu semua ada di dalam film.

 

10 tahun berlalu. Hanya Poppy Sovia yang masih di dunia film. Ke mana yang lainnya?

Setelah Keramat, banyak yang ingin istirahat. Mungkin karena tingkat pressure yang sangat berat saat syuting, secara fisik dan psikis. Selain Poppy, Diaz Ardiawan masih aktif, saat ini sedang syuting sinetron Dunia Terbalik. Sadha dan Migi setelah sepuluh tahun sepertinya sudah mulai mau kalau ada syuting lagi, saya sudah sempat ngobrol sama mereka. Semoga trauma saat syuting sudah sembuh. Maklumlah, soalnya semua teror yang dirasakan mereka di film itu asli, bukan kaleng-kaleng. Mereka berhasil masuk ke ruang di mana mereka yakin dan percaya bahwa apa yang kami syut, itulah yang benar-benar sedang terjadi. Bisa dibayangkan betapa lelahnya psikis mereka saat film selesai.

Keramat