Stephany Josephine (Teppy)
by Stephany Josephine (Teppy)

Saat melawan ketidakadilan, speaking up ternyata tak selalu jadi solusi pertama. Bertindaklah dalam diam dan atur strategi sepintar mungkin. Tahu kapan bisa skak mat! Itu saya pelajari dari karakter-karakter Bombshell yang tak tinggal diam; dan serial Why Women Kill yang penuh kejutan, bikin penasaran, apalagi berbau misteri pembunuhan!

April identik dengan Hari Kartini, hari di mana kita peringati perjuangan beliau dalam emansipasi perempuan. Bagi perempuan Indonesia, sosok yang hidup di tahun 1800-an itu dinilai sangat progresif untuk zamannya. Dalam perjalanan hidupnya, beliau banyak didukung teman korespondensinya, para perempuan yang tinggal di Belanda.

Bombshell

Meski kini zaman sudah jauuuh lebih maju, sampai saat ini perempuan kerap mengalami sandungan. Banyak hal kini bisa dicapai layaknya laki-laki, tapi masalah klasik lain membuat perempuan seolah jadi “warga kelas dua” tetap bermunculan, tak peduli semaju apa pun zamannya dan di manapun negaranya.

Why Women Kill

So much so that people turn it into stories. Inspiring ones I would say! Waktu saya yang lagi banyak-banyaknya karena harus mendem di rumah aja ini bikin saya terekspos konten-konten bagus yang sangat empoweringYes, saya baru aja selesai nonton ulang film Bombshell dan menghabiskan satu season Why Women Kill dalam dua hari. Dua-duanya baru rilis di CATCHPLAY+ April ini!

★ BONUS★  Buruan DAFTAR disini dan menjadi pelanggan Movie Fans bisa nonton 1 Episode pertama secara GRATIS, jika ingin nonton versi kompletnya upgrade aja jadi Movie Lovers. 

 

Juicy-nya Why Women Kill

Saya penggemar TV soap Amerika yang ceritanya ringan, terkesan remeh-temeh ala sinetron, tapi sebenarnya mengangkat isu tertentu. Plotnya penuh kejutan dan selalu bikin penasaran, apalagi berbau misteri pembunuhan! Why Women Kill ini adalah serial karya Marc Cherry, kreator yang sama dari dua serial favorit saya yang dulu bikin saya ketagihan berat: Desperate Housewives dan Devious Maids. Kita bisa lihat “napas” serial-serial ini sama, karakter utama perempuan dihadapkan berbagai keadaan yang menyulitkan dan tak adil, dengan segala kapasitas mereka berusaha “melawan.” Menolak untuk jadi “korban.” Seperti di Why Women Kill di mana tiga perempuan di tiga dekade berbeda pernah tinggal di rumah yang sama, semua sama-sama mengalami masalah rumah tangga berbau perselingkuhan.

Beth Ann Stanton (berlatar waktu 1963), perempuan penurut dan sangat mengabdi pada suaminya, Rob, menemukan sang suami ternyata berselingkuh dengan pramusaji di sebuah diner. Maksud hati mau konfrontasi si mbak simpanan, eh… Beth Ann banting setir, malah mereka jadi temenan! Dua dekade berikutnya, tepatnya pada 1984, ada Simone, perempuan kaya raya yang sudah tiga kali menikah yang giliran ketimpa masalah. Karena sang suami, Karl, ketahuan selingkuh, akhirnya Simone selingkuh juga, deh! Sama siapa? Sama… anak sahabatnya sendiri. Baik.

Sejujurnya saya paling gemes sama chemistry dan dinamika hubungan Simone dan Karl ini. Kayaknya mereka berdua asik banget kalau jadi orang tua atau om tante saya, terlepas “petualangan” cinta mereka lumayan berlika-liku, yah… 

Di era yang lebih modern, 2019, kita punya Taylor dan Eli, pasangan yang menikah dengan konsep open marriage. Kalau buat saya pribadi sih ini konsep yang bikin jantungan, ya. Kayak nikah tapi kok sambil nyari penyakit dari awal, gitu. Because honey, I think three’s a crowd. Tapi kalau penulisnya nurutin komen-komen netijen belaka modelan saya gini, maka nggak ada gunanya ulasan ini saya tulis, bisa-bisa serial ini nggak akan pernah ada kalau semua mau dibuat masuk akal. Hahaha…

Gimana perjalanan Taylor dan Eli dengan konsep pernikahan terbuka ini? Seperti sudah bisa diduga, hubungan yang ada orang ketiganya, entah itu sembunyi-sembunyi atau terbuka, pasti adaaa aja cobaannya. Apakah mereka bisa akur? Apakah Taylor diperebutkan? Apakah beneran “bau darah” kayak judul serialnya? Langsung tonton sendiri aja, ya, hehe…

Saya nggak bisa ngebayangin orang-orang di dunia nyata harus ngejalanin hidup seberantakan itu dengan kehadiran pihak ketiga dan pembunuhan. Siapa yang dibunuh? Siapa pembunuhnya? Gimana bunuhnya? Daaan… kenapa dibunuh? Well, selamat melahap Why Women Kill.

 

The Badass Chicks from Bombshell

Lanjut bahas film yang saya sebut di awal, Bombshellsi peraih satu Oscar tahun ini. Kali ini sayangnya ceritanya diangkat dari kata. Sedih sih, karena masalah pelecehan seksual sampai detik ini masih saja terjadi dan ini jadi wake up call  bahwa ternyata dunia tak pernah benar-benar setara untuk perempuan. Mungkin dalam banyak hal sudah, tapi khususnya cerita ini, ada faktor kuasa, patriarki, dan misogini yang bermain. Adalah seorang Gretchen Carlson (Nicole Kidman), reporter senior Fox News yang pada 2016 lalu menuntut mantan bosnya, Roger Ailes (John Lithgow), atas tuduhan pelecehan seksual. Roger Ailes adalah chairman dan CEO Fox News pada saat itu dan merupakan figur yang berjasa membesarkan Fox dari nol. Sayangnya, kepiawaiannya mengelola bisnis tak berbanding lurus dengan caranya memperlakukan karyawan perempuannya.

Di kehidupan nyata, tercatat ada 23 perempuan yang mengaku pernah dilecehkan olehnya. Di film tak semuanya diceritakan, hanya beberapa saja, tapi salah satunya, Megyn Kelly (Charlize Theron) kemudian ikut angkat bicara sehingga kasus bergulir makin panas. Ada satu karakter utama yang fiktif di sini, Kayla Pospisil (Margot Robbie), yang dibuat untuk mewakili kasus-kasus pelecehan news anchor Fox News lainnya. Ia salah satu kunci utama dari plot. Terus terang, agak berat bagi saya untuk tak tersulut emosi ketika menonton film ini. Kamu yang menontonnya pasti akan ikut marah dengan permainan kuasa yang terjadi di depan mata. Para perempuan ini terjepit dalam posisi tak mengenakkan dan harus menyimpan trauma psikologis akibat pelecehan dalam diam agar bisa mempertahankan karier. Sungguh dunia yang tidak adil. Selepas menonton ini, kalian juga bisa mencari video wawancara Megyn Kelly dengan para reporter korban pelecehan lainnya, di mana mereka membahas mana yang akurat dan tidak di Bombshell, dan fakta lain yang sebenarnya terjadi.

Makin menggelegak rasanya ketika menontonnya, dan sungguh bersyukur Bombshell dibuat untuk membantu “membuka mata” masyarakat bahwa praktik seperti ini masih terjadi di mana-mana, dan kini saatnya perempuan tak tinggal diam. Andai saja bisa saya gabungkan, saya akan gabungkan para perempuan di Why Women Kill dan Bombshell agar bersatu padu membalaskan dendam mereka.

 

Apa Kesamaan Dua Tayangan Ini?

Ada satu benang merah yang bisa saya tarik dari dua tayangan ini, meski yang satu fiksi dan satunya nyata. Untuk melawan ketidakadilan, speaking up tak harus selalu menjadi solusi pertama. Membela diri itu banyak caranya, dan makin kuat dan berkuasa “lawan” kita, semakin kita harus lihai menghadapi mereka. Kita ternyata juga bisa bertindak dalam diam dan mengatur strategi sepintar mungkin. Tahu kapan bisa skak mat. Saya belajar ini dari Beth Ann, Simone, Taylor, dan terutama Gretchen Carlson. Menonton mereka rasanya seperti sedang berjalan mencari jalan keluar di labirin. Tidak usah grasa-grasu harus langsung keluar sekarang, tapi tenangkan pikiran dan atur strategi matang-matang.

 

*Stephany Josephine, biasa dipanggil Teppy, adalah penulis dan praktisi PR lepas, lifestyle blogger, dan presenter program ulasan film bertajuk Teppy-O-Meter di Narasi TV. Blognya, www.thefreakyteppy.com telah dikelolanya sejak 2007 dengan artikel yang terfokus pada pencarian kedai kopi, cerita traveling, konser, dan ulasan film dengan label "Movie Review Suka-Suka."