Banyak sineas menjebak karakterisasi perempuan dengan cara itu-itu aja. Tapi saya menemukan film tak biasa, seperti serial Why Women Kill dan sejumlah film lain amat menarik. Dan itu perlu dirayakan! Simak ulasan saya.
Bagaimana seharusnya jadi perempuan? Ini pertanyaan yang sering luput dijawab dalam film. Bertahun-tahun, apalagi di film Indonesia, perempuan dalam cerita di layar sering terjebak dalam karakterisasi itu-itu aja: Harus jadi karakter baik, jika ada perubahan, maka tetap dalam kondisi yang sempurna.
Karena itu, cerita-cerita dengan karakter perempuan yang menarik harus dirayakan. Bukan cuma menarik, tetapi di dalam kisahnya ada dorongan berani dari pembuatnya kepada karakter perempuannya. Entah karakter utama ataupun pendukung.
Keberanian ini sepatutnya dirayakan. Tak hanya oleh penonton perempuan, tapi juga penonton laki-laki. Lagipula, mau apa pun gender kamu, yang namanya karakter menarik, ya, pasti menarik. Apalagi kalau pergulatannya jarang ceritakan.
Beberapa tontonan yang dimaksud itu sedang tayang di CATCHPLAY+ dan ini yang sempat saya amati.
★ BONUS★ Buruan DAFTAR disini dan menjadi pelanggan Movie Fans bisa nonton 1 Episode pertama secara GRATIS, jika ingin nonton versi kompletnya upgrade aja jadi Movie Lovers.
Why Women Kill (2019, kreator Marc Cherry)
Serial terbaru di CATCHPLAY+ dari kreator serial Desperate Housewives, Marc Cherry. Seperti serial sebelumnya, Why Women Kill (WWK) sama lucunya dan karakternya berani nyeleneh, tentu ada pembunuhan juga. Idenya asik banget: Cerita paralel sebuah rumah dengan perempuan berbeda dekade; Satu ibu rumah tangga di era 60an, satu sosialita di era 80an, satu pengacara di tahun 2019.
Semua punya satu pertanyaan serupa: Kenapa perempuan bisa membunuh? Bila harus ada yang terbunuh, maka siapa yang akan mati: mereka, pasangan, atau si selingkuhan. Meskipun berbeda dekade masih saja masalahnya klasik: cinta segitiga.
Tiga karakter utama: Beth Ann (Ginnifer Goodwin) - si ibu rumah tangga, Simone (Lucy Liu) - si sosialita, dan Taylor (Kirby Howell-Baptiste) - si pengacara, berani dibuat bold dengan konteks tuntutan masyarakat saat itu. Beth Ann menanggapi perselingkuhan suaminya dengan menjadi ibu rumah tangga yang baik, maka Simone malah selingkuh dengan anak sahabatnya yang baru 18 tahun sebagai balas dendam karena suaminya gay. Taylor, terlibat relasi pernikahan progresif: open marriage. Serumah dengan suami tak percaya diri dan pacar Taylor, perempuan yang mantan pacarnya pelaku kekerasan.
Kembali ke pertanyaan di atas. Tentu perbedaan tiga perempuan ini menyelesaikan masalahnya membuat saya terus terpikat dengan serial ini. Why Women Kill mengingatkan lagi betapa kehidupan perempuan adalah kondisi hidup yang paralel. Kondisi tiga karakter itu bisa sekali terjadi di kehidupan kita saat ini, tanpa perlu terbagi dalam tiga era yang berbeda.
American Beauty (1999, Sam Mendes)
Sebuah cerita tentang keluarga yang tampak baik-baik saja, bahkan sempurna. Saya ingat nonton film ini saat masih SMA, tergila-gila nonton semua film pemenang Oscars. Ketika sekarang bisa nonton ulang di CATCHPLAY+ bahagia sekali karena filmnya terasa dua kali lebih bagus karena lebih paham kompleksitasnya.
Ceritanya terasa gelap: kisah keluarga menengah khas Amerika yang tampak bahagia disatukan oleh kematian Lester. Namun, tetap lucu satir sebab diceritakan dari sudut pandang Lester (Kevin Spacey) yang hadapi krisis paruh baya. Istrinya, Carolyn (Annette Bening) lebih sukses dan ambisius. Anak gadisnya, Jane (Thora Birch) anak SMA yang serba melawan. Akhirnya Lester malah naksir Angela (Mena Suvari), sahabat anak gadisnya.
Karakter-karakter perempuan aneka usia dibuat kompleks. Semua ingin kendali atas kehidupan masing-masing, tapi terjebak dengan pilihan tolol Lester dan keinginan manusiawi diri mereka sendiri. Mungkin karena itulah film ini bisa tetap menjadi film klasik dan relate di jaman sekarang.
American Hustle (2013, David O. Russell)
Saya terkesan pada performa akting para aktornya, terutama Amy Adams dan Jennifer Lawrence. Kisah tentang pasangan penipu (Irving Rosenfeld/Christian Bale and Sydney Prosser/Amy Adams) yang bekerjasama dengan FBI. Irving dan Sydney sebenarnya soulmate, namun Irving sudah menikah dengan Rosalyn (Jennifer Lawrence) yang histerikal. Asiknya film ini, penonton pasti lebih ingin Irving dan Sydney bersama. Thriller seru, tapi kompleksitas asmara dan pernikahannya dibuat serius sehingga para perempuan yang terlibat di sana bisa dipahami kondisinya.
A Simple Favor (2018, Paul Feig)
Saya suka akting Anna Kendrick (Stephanie) dan Blake Lively (Emily), juga karya Paul Feig. Untunglah bisa nonton secara legal di sini. Pertanyaan menarik: sejauh apa kamu mau bantu sahabat kamu? Sejauh apa kamu mau mencarinya?
Saya suka persahabatan dua perempuan yang berbeda pekerjaan dan look yang dibangun. Stephanie, seorang janda dan vlogger, berteman dengan Stephanie PR top bersuami tampan, a perfect family. Mereka berteman karena anak mereka yang playdate. Kondisi ini menjadi benang merah Stephanie mencari Emily yang tiba-tiba hilang. Untuk menambah komplikasi, Sean (Henry Golding) dan Stephanie jadi punya hubungan spesial karena duka kehilangan itu.
Perempuan dan rahasianya memang selalu asik diulik. Seperti musik dan lirik, perempuan tak akan lengkap tanpa punya rahasia.
Song to Song (2017, Terrence Malick)
Dari sutradara eksperimental, Terrence Malick, pengisi waktu luang saya. Saya siapkan proyektor demi puas menonton visual treatment khas Malick. Ini film romantis eksperimentalis dengan 4 aktor yang seperti biasa bagus performa aktingnya. Ceritanya dibangun dalam momen. Seperti mendengarkan lagu, kadang kita langsung paham arti lagunya, tapi ada yang walau kita belum langsung mengerti tapi kita menikmati nada iramanya. Seperti itu juga kurang lebih film ini. Penuh momen yang harus kita hubungkan sendiri maknanya.
Kisahnya klasik, tentang perjuangan meniti karier dan pergulatan cinta. Faye (Rooney Mara) adalah musisi yang baru mulai meniti karier. Faye berhubungan dengan BV (Ryan Gosling), namun diam-diam selingkuh dengan Cook (Michael Fassbender), seorang produser rekaman. Mereka merahasiakan hubungan itu sampai nurani Faye ingin berkata jujur.
Seniman mencari makna dari kisah hidup mereka sendiri. Karena itu, saya selalu tertarik dengan perjalanan seniman perempuan bergulat dengan piliihan hidupnya. Film ini menyajikan itu, sekaligus menantang pengalaman menonton audiensnya yang terbiasanya nyaman dalam narasi yang jelas. Karena itu menontonnya akan terus bertanya, dan apalah hidup tanpa pertanyaan yang bermakna.
*) Gina S. Noer adalah penulis, produser, sutradara. Dia adalah Head of IP Initiative dan co-founder dari Wahana Kreator. Gina adalah pemenang ganda Piala Citra di Festival Film Indonesia 2019 pada dua kategori Skenario Terbaik untuk kedua film box office-nya. 'Dua Garis Biru' adalah film debutnya sebagai sutradara.