Lebih dari sekedar bintang film, ia juga aktor panggung, penulis skenario, kolumnis, cerpenis, nominator sejumlah penghargaan, dan entah apa lagi nanti. Ia seniman lengkap.
Dua film terbarunya sedang ditonton jutaan mata di seluruh dunia. Setelah Café Society menjadi pembuka Festival Film Cannes pada Mei lalu, sejak pekan kedua Juni ini perannya dalam Now You See Me 2 sungguh layak untuk dinikmati.
Jesse Eisenberg adalah aset Hollywood. Ia tak sekadar menjajal peruntungan dan bakat akting, apalagi menjual ketampanan. Perannya sebagai Lex Luthor dalam Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) yang beradu akting dengan Henry Cavill, Ben Affleck, dan Gal Gadot, disebut Affleck, “secemerlang Joker-nya Heath Ledger dalam The Dark Knight (2008).”
Puji Affleck lebih lanjut, “Jesse berimprovisasi di tiap adegannya. Lex Luthor bukan penjahat berdimensi tunggal; ada psikologi lengkap di balik karakter yang dimainkannya. Karakter bikinan Chris Terrio dan peran Jesse adalah dua hal hebat yang bertemu pada gelombang yang sama.”
“Tiap karakter yang saya perankan harus jadi pahlawan bagi ceritanya sendiri, seperti halnya kita ingin jadi pahlawan bagi hidup kita,” kata Jesse, suatu ketika.
Meski mulai dikenal publik secara luas saat memerankan Mark Zuckerberg sang pendiri Facebook, langkah Jesse Eisenberg di dunia seni peran dimulai jauh sebelum itu.
Debut televisinya ia lakukan di usia 16 lewat perannya di Get Real (1999–2000), sebuah seri drama komedi. Tak berapa lama, ia menjadi pemeran utama dalam Roger Dodger (2002). Bak tak bisa dibendung, sejumlah sutradara kemudian mengincarnya untuk film-film mereka; seperti dalam The Emperor's Club (2002), The Village (2004), The Squid and the Whale (2005), Juno (2007) dan The Education of Charlie Banks (2007).
Ia beradu akting dengan Kristen Stewart yang saat itu menjadi sorotan publik dalam Adventureland (2009), dan Emma Stone dalam Zombieland (2009), sebelum akhirnya perannya banyak dipuji dalam The Social Network, (2010). Di film tentang berdirinya situs pertemanan terbesar sejagat itu, Jesse dinominasikan sebagai Aktor Terbaik di banyak festival, di antaranya pada BAFTA Awards, Golden Globe, dan Piala Oscar.
Sejak itu, kiprahnya makin diperhitungan. Ia menjadi pengisi suara karakter utama Blu dalam Rio (2011) dan Rio 2 (2014). Tak urung, sutradara gaek Woody Allen menginginkan perannya dalam To Rome with Love (2012). Allen bahkan membuatnya kembali dipertemukan dengan Stewart dalam Café Society (2016), setelah tahun lalu keduanya bermain dalam American Ultra (2015) besutan sutradara Nima Nourizadeh.
Meski kalangan dekat menilainya sebagai humoris dan berkepribadian hangat, banyak orang sukar memahaminya. Ia dikenal sebagai pekerja keras, selalu ingin berkarya, tapi tak suka sesi wawancara. Bagi jurnalis ia dijuluki “nightmare interviewee” alias “narasumber sulit dan menyebalkan.” Seorang perempuan muda, reporter dari Inggris, setelah mewawancarainya berkomentar, “Tampaknya Mark Zuckerberg dan Jesse Eisenberg tak ada bedanya.” Tak berapa lama, media lain menulis, "Saya tak akan berteman dengan Jesse Eisenberg di Facebook."
Mau berteman dengannya atau tidak, Jesse yang pernah berpacaran dengan Anna Strout dan Mia Wasikowska, memang punya latar belakang unik. Lahir pada 5 Oktober 1983 dan dibesarkan di New Jersey, sejak kecil ia harus mengatasi problem kecemasan yang dideritanya agar bisa diterima di sekolah. Di usia 7, ia memerankan Oliver Twist dalam Oliver! , sebuah drama musikal. Sejak usia 12, dan seterusnya, ia mulai terlibat dalam banyak panggung teater. Imajinasi liarnya sering menghasilkan skenario drama panggung, yang karakternya juga ia mainkan. Ia juga menulis kolom, artikel, dan terutama cerpen untuk sejumlah media. Pada 2015, buku kumpulan cerpennya terbit, Bream Gives Me Hiccups: And Other Stories.
Seperti sebagian aktor, ia tak menonton filmnya sendiri. “Dulu saya menonton film saya, demi tidak menyinggung orang-orang yang telah membuatnya. Sejak beberapa tahun lalu, saya hanya menyimpannya dan berhenti menontonnya,” tuturnya. Sementara sebagai seniman, ia sangat menikmati kreativitas dalam kesendiriannya. “Momentum paling bahagia adalah, secara kreatif, membaca naskah drama, mengitari meja, tanpa penonton satu pun.”