Jerinx
by Jerinx

Panggung musik itu sakral. Iya. Bagi seorang musisi, selain karya, panggung adalah tempat pembuktian tertinggi. Entah itu pembuktian skill, disiplin ilmu, kecakapan interaksi, tingkat emosi, sikap politik, keberpihakan sosial, atau hanya untuk sekedar menghibur diri dan -sembari berharap- penonton juga terhibur. 

Kadang kesemua elemen tersebut menyatu dalam satu momen, kadang juga tidak, karena musik ketika dibawakan di atas panggung, ia memiliki nyawanya sendiri, dan kadang kita tidak bisa memilih apa yang hendak kita buktikan di sana. Thats the beauty of performing live music. There's so much element and emotions attached to it. 

Oke, balik ke saya pribadi. Ketika hendak konser, saya selalu, saya ulangi, saya selalu gugup. Meski sudah 22 tahun bermain musik bersama SID dan 20 tahun bersama Devildice, rasa gugup selalu singgah di jiwa, terutama beberapa menit menjelang waktunya naik panggung. 

Misteri dari "stage universe" yang selalu berubah-ubah membuat saya tidak pernah tahu 100% apa yang akan terjadi di kala saya sudah berada di atas panggung. Apakah saya akan kelelahan? Apakah saya akan memberi 100% dari kemampuan saya? Akankah penonton menyukai sound yang melesat dari speaker? Apakah kami terdengar berbeda dengan di album? Apakah kami terlihat dan terdengar membosankan? Apakah penonton baik-baik saja dan tak ada yang tersakiti? Dan ada barisan-barisan pertanyaan lain yang melintas di kepala. 

Tiap musisi tentu punya cara yang berbeda on how to deal with it. Saya pribadi, saya sejak dulu memilih substansi bir, atau kadang wine, untuk menimbulkan efek relaksasi di tubuh dan pikiran saya. Tidak terlalu banyak, 2-3 kaleng/gelas 30 menit - satu jam sebelum manggung, itu cukup. 

Saya banyak belajar dari masa-masa muda nan liar, di mana saya biasa minum alkohol 6 jam sebelum konser, lalu ikut terlibat pogo di mosh pit atau stage dive saat menonton band-band yang tampil sebelum saya. Energi terkuras habis. Pikiran tak bisa fokus. Alhasil, di awal-awal karir SID, permainan saya seringkali hancur, out of tempo, terlalu kencang, kadang terlalu pelan, bahkan kadang lupa lagu saking skip nya. Haha. 

Namun seiring tumbuhnya karir kami, saya merasa ada tanggung jawab terhadap penonton. Mereka sudah membeli tiket, menempuh perjalanan berjam-jam, bahkan berhari-hari, menabung uang jajannya dan berbagai pengorbanan lainnya, hanya untuk menyaksikan band saya. Tak patut rasanya jika saya mengerdilkan pengorbanan mereka dengan memberi performa yang ngawur. Saya paham band saya memainkan genre punkrock; sebuah genre yang secara umum tak terlalu mendewakan skill namun lebih ke attitude, tapi setidaknya saya tidak bermain hancur. 

Tidak apa-apa kadang out of tempo (karena kita bukan robot) namun power, passion, dan stamina harus tetap terjaga. Ketika kita terlihat passionate memainkan musik yang kita mainkan, itu membuat kita terlihat berbeda dengan musisi yang bermain musik layaknya profesi ketimbang hobi. Dan perasaan sumringah dan senang yang kita rasakan di panggung itu menular kepada penonton. Saya sangat yakin dan acap kali membuktikannya sendiri. Ini barangkali mengingatkan perjuangan drummer yang diperankan Miles Teller dalam Whiplash (Damien Chazelle).

Saya pribadi lebih suka melihat diri saya bermain musik karena hobi. Bukan karena pekerjaan atau tuntutan ekonomi. Sebab hal tersebut perlahan akan membunuh passion kita dan, tanpa disadari, kita akan terlihat sedang melakukan hal yang kita tidak sukai di atas panggung. Bagi saya, itu mimpi buruk terakhir seorang musisi. Di kala kita merasa musik tak bisa lagi membuatmu melupakan rasa sakit, di sanalah akhir dari petualangan sebagai seorang musisi. 

Passion amatlah vital, terutama ketika bicara masalah live performance. Hal itulah yang selalu saya jaga ketika hendak manggung. Selalu berusaha ciptakan atmosfer yang positif, jauhi drama, tumbuhkan rasa percaya diri yang masif, pikirkan hal-hal yang simpel, be effective, jangan terlalu banyak berbasa-basi dengan orang yang tak berkepentingan (ini membantu menjaga fokus), dan tentu saja, pastikan sudah cukup tidur. 

Saya pernah mengidap insomnia akibat mental breakdown yang teramat berat, dan seringkali konser dimana saya belum tidur 2-3 hari. Man, that was pure hell. I felt guilty for the crowd, I hated myself and I didn't enjoy playing the music at all, from the first till the last song all I wanted was just to go home. Saat itu saya pikir karir bermusik saya sudah akan berakhir.

Namun nasib kita, kitalah yang tentukan. Saya lawan penyakit saya, saya selesaikan masalah saya, dan akhirnya saya bisa kembali seperti biasa. Now I just can't wait to play any gig. Any day. Any time. I just love playing music! When it hits me, I feel no pain. And I owe it all to rock n roll. Most of the things I owned today; the love, the joy, the hate, the pain. Everything that have shaped me to become who I am today, is music. Dan meski sudah puluhan tahun bermain musik, setiap bangun tidur saya sering merasa jika karir musik saya baru saja mulai. 

Everyday is a new beggining. Everyday there's new hope. And music makes me believe that. Saya percaya musik akan membuat saya baik-baik saja. Di masa lampau, di saat ini, dan di masa mendatang. Keep the passion in you and music will show you the way.

Foto-foto: Ucok Olok dan Guswib

*Jerinx adalah penggebuk drum dan penulis lagu band Superman is Dead, vokalis dan gitaris band Devildice, enterpreneur, seniman dan penggila mobil kuno, tinggal di Kuta, Bali.