Rambo datang lagi! Kali ini untuk yang terakhir kali? Apakah dia tetap si jagoan tunggal dan jadi pencitraan bagi negeri Paman Sam?
Rambo ‘si jagoan tunggal dari Amerika Serikat’ hadir lagi dalam Rambo: Last Blood. Apakah dia tetap si jagoan tunggal yang memberantas para musuh, dan saking heroiknya, kemudian banyak dikritik?
Dibesut Adrian Grunberg, dibintangi tentu saja, Sly alias Sylvester Stallone yang mulai menua tapi tetap sangar, serta didukung Paz Vega dan Yvette Monreal, film ini tayang di bioskop Indonesia dan global minggu ini.
Setelah hampir empat dekade setelah First Blood (1982), Sly perani lagi salah satu jagoan laga terhebat sepanjang masa, John Rambo. Kini Rambo harus menghadapi masa lalu dan menggali kepiawaian tempurnya demi balas dendam sebuah misi terakhir. Perjalanan pembalasan yang mematikan ini, dalam Rambo: Last Blood, jadi penanda terakhir dari seri legendaris ini.
Jagoan Era 80-an hingga 2000-an, Masihkah Kini?
Mereka yang jadi remaja era 80-an hingga 2000-an pasti kenal John Rambo, karakter yang jadi waralaba dan sangat menguntungkan. Pertama kali dikenalkan dalam First Blood, John Rambo dikisahkan sebagai veteran perang Vietnam yang nomaden, yang mencari tempat sunyi di wilayah pedalaman. Saat menyeberang ke kota, ternyata ia menuju wilayah yang salah. Dari situ pertumpahan darah, adu senjata, dan ‘heroisme’ tunggal Rambo dimulai. Tapi, di antara segala pujian terhadap film ini dan semua sekuelnya dari penggemar fanatiknya, Rambo dianggap refleksi dari cara Amerika Serikat mencitrakan dirinya. Mereka kalah di perang Vietnam, tapi menang dalam budaya populer.
First Blood dinilai ‘lebih politis’ daripada sebagian besar film dalam karier panjang Stallone. Meski sekuelnya cenderung menonjolkan kekerasan dan keperkasaan tubuh Sly, sesungguhnya kisah asli Rambo banyak menuturkan sisi lain kondisi veteran Vietnam di Amerika pada 1980-an. First Blood juga film besar pertama yang mengangkat isu Post Traumatic Stress Syndrome (PTSD) dan dampak abadi perang terhadap para tentara yang selamat.
Waktu berlalu, dekade demi dekade berganti, juga para presiden Amerika Serikat datang dan pergi; apakah kini John Rambo juga jadi sarana bagi Presiden Donald Trump untuk menyisipkan sikap politiknya? Amerika tetaplah Amerika, bukan?
Kritikus film Jeffrey Bricker dari situs Blue Harvest Films menilai, “masuk akal jika setelah hampir empat dekade, kisah Rambo berakhir dengan film terakhir yang juga membuat pernyataan tentang politik dan masyarakat modern. Masalahnya, Rambo: Last Blood mungkin membuat pernyataan yang salah”. Menurut Bricker, demi menjaga sejarah Hollywood dalam konteks, industri film mengandalkan stereotip. Apakah itu penduduk asli Amerika di Barat, Italia atau orang Asia di seluruh genre yang tak terhitung jumlahnya. Tetapi “sebagian besar penonton Amerika telah kehilangan selera untuk penokohan rasial dan etnis ini.” Amerika yang kini terpecah-belah karena terpilihnya Donald Trump sebagai presiden kini membuat sejumlah sejumlah film juga dituduh punya spirit yang sama.
Jadi, masihkah relevan karakter John Rambo kembali ke layar lebar lagi? Apakah kini jadi propaganda Paman Sam yang lebih cerdas? Cobalah tonton dan nilai sendiri. Yang jelas, film ini tetap seru dan panas untuk ditonton, dan lupakan semua beban politisnya.
Akan jadi film terakhir Rambo, atau…
Apa pun itu, Rambo: Last Blood sebagai tontonan masih punya sisi menarik untuk diperbincangkan. Misalnya, pada 6 Desember 2018, Stallone menyatakan ini akan jadi film Rambo terakhir. Ia mengatakan, “karakter ini akhirnya menemukan apa yang disebut kedamaian." Namun, di festival Cannes 2019, sang aktor justru bilang, ia akan terus memainkan karakter John Rambo, jika Rambo: Last Blood terbukti sukses. Well, uang besar memang selalu seksi!
Plot asli film ini sesungguhnya dimaksudkan untuk Rambo (2008) tetapi telah diubah. Sebagian darinya juga telah digunakan untuk Homefront (2013) yang skenarionya ditulis Sly tapi filmnya dibintangi Jason Statham, James Franco, dan Winona Ryder.