ANITA MAE, news anchor di salah satu jaringan TV berita Indonesia, amat tersentuh dengan serial The World Between Us. Apalagi film ini juga mengungkap sepak terjang dan kerja jurnalis di tengah sengitnya persaingan industri pemberitaan. Inilah ulasannya yang penuh greget!
★ BONUS★ Pelanggan Movie Fans bisa nonton dua episode pertama secara gratis, jika ingin nonton versi kompletnya upgrade aja jadi Movie Lovers. Oh ya, beli 1 bulan paket Movie Lovers, bisa dapat 2 bulan Movie Lovers. Masukan PROMO CODE【TWBU】. Buruan Upgrade, sebelum 5 Juli 2019!
Pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam hati saya ketika memutuskan terjun ke dunia jurnalistik adalah: Akan jadi penyampai berita seperti apa saya? Apakah sisi kemanusiaan saya akan tergadai karena hanya mengejar berita yang disuka penonton? Ternyata itu hanya ketakutan yang berlebih. Pada praktiknya, sayalah yang punya hak sepenuhnya untuk memutuskan hal semacam ini.
Seri The World Between Us, yang kini tayang secara streaming di CATCHPLAY, membawa saya kembali pada masa pergolakan batin ketika menemui berbagai persimpangan hidup. Jika salah pilih jalan, hancurlah dunia saya. Sangat menarik ketika melihat sosok Li Ta Chih yang memutuskan untuk menghadapi dunia dengan menyandang status ‘adik pembunuh.’ Ironisnya, ia justru bekerja di media yang menjadi bagian pemberitaan mengenai kasus dan proses hukum kakaknya.
Ciamik, cara bertutur dan sudut pandang sutradara!
Dunia media yang digambarkan serial ini menurut saya sangat umum. Media yang memberitakan hal-hal yang jadi magnet bagi publik untuk melihat. Namun tak bisa dipungkiri, media elektronik seperti televisi kini mendapat saingan berat. Berbagai aplikasi sosial media dengan bebas membagikan hal-hal lebih ekspresif dan cepat, dibanding stasiun TV yang memiliki etika jurnalisme dan dinamika persaingan sesama stasiun TV dalam mengejar dan menayangkan suatu peristiwa. Lalu, apakah persaingan ini yang mendasari terkikisnya etika itu termasuk kemanusiaan? Saya rasa publik memiliki jawaban masing-masing.
Sutradara sangat berhasil menerjemahkan maksud penulis naskah ketika bisa mengajak kita melihat sebuah kejadian dari sudut pandang yang lebih luas. Perjuangan keluarga Li Ta chih dalam usaha memohon ampunan para keluarga korban menjadi latar belakang seorang pengacara untuk memperjuangkan hak asasi manusia. Ini juga penyebab sang manajer stasiun televisi getol memberitakan kasus hukum dari psikopat bernama Li Hsiao-Ming, yang membunuh 9 orang termasuk anak laki-lakinya. Ada banyak konflik sosial yang digabungkan dengan apik dalam alur cerita ini, namun cerita mengenai etika jurnalisme adalah hal paling banyak menyita perhatian saya.
Jika kita bandingkan reaksi publik pada laman Instagram dengan portal khusus berita untuk satu berita yang sama, komentar atau reaksi publik di ranah sosial media selalu lebih ‘ramai’ dibanding portal beritanya. Publik lebih banyak mengakses sosial media ketimbang portal berita. Masalah serupa dialami media televisi: Bagaimana menghadirkan berita yang menarik dan relevan?
Salah satu solusinya, tiap stasiun TV kini punya akun sosial media dan menayangkan ulang apa program mereka. Solusi ini cukup berhasil. Namun ranah media sosial tetap tak bisa menjadi acuan penilaian rating atau peringkat nasional dalam pemberitaan pertelevisian.
Persaingan pemberitaan dan kemarahan publik
Jika kita kembali dalam cerita, ada adegan yang menceritakan kemarahan publik pada pengacara Wang She yang memperjuangkan hak asasi Li Hsiao Ming sebagai pembunuh, karena pelaku memiliki kelainan mental. Dalam siaran live digambarkan Wang She harus menerima kemarahan publik dengan dilempari kotoran manusia. Kemudian kejadian itu diunggah ke sosial media dan jadi diskusi panas antara warganet, baik yang memberi dukungan atau hujatan padanya. Pada kenyataannya, penayangan live dalam siaran TV memiliki risiko besar. Untuk itu, reporter dan juru kamera harus cepat tanggap jika mengalami kejadian yang sekiranya justru memantik konflik.
Saya ingat kejadian demo penolakan hasil Pemilu 2019 dan kerusuhan pada tanggal 21-22 Mei lalu di depan kantor Bawaslu RI. Pemberitaan non-stop dan live dari peristiwa itu menghiasi layar kaca semua stasiun TV. Bisa dikatakan hampir 24 jam lamanya. Media menggambarkan secara langsung betapa mengerikannya kejadian itu, pembakaran, orasi yang berujung perusakan pembatas keamanan aparat, dan memakan korban jiwa. Apakah penayangan ini menjadi masif karena keingintahuan publik tentang kejadian itu? Atau media merasa ini hal yang seharusnya mereka tayangkan kepada publik?
Ketika publik mengetahui kejadian di waktu yang ’real time’ setelah menyaksikan tayangan itu, lalu apakah peran media sebagai penetralisir konflik sudah terpenuhi?
Seharusnya ada batasan yang tidak dilewati agar masyarakat tak terprovokasi pemberitaan yang mengandung konten kekerasan dan juga tidak menimbulkan keresahan masyarakat. Inilah yang coba digambarkan dalam adegan The World Between Us, dalam kejadian pembunuhan. Apa pun yang berhubungan dengan kasus tersebut coba disampaikan secara langsung. Namun ada pihak-pihak yang tersakiti saat menyaksikan tayangan itu.
Bagaimana perasaan orang tua tersangka yang anaknya akan dijatuhi hukuman mati menjadi pembicaraan seluruh negeri? Bagaimana perasaan Li Ta Chih yang harus berhadapan dengan bosnya yang merupakan orangtua korban, sementara dia harus mengeksekusi berita hukuman mati yang dijatuhi pada kakaknya.
Bijak mencerna dan berbagi berita!
Konflik yang ditampilkan sangat kompleks dan amat dekat dengan kenyataan di masyarakat. Serial ini mengajak kita melihat lebih luas mengenai suatu peristiwa. Sebab, akibat dari sebuah keputusan tak hanya berakibat pada pelaku dan korban. Terlepas dari bagaimana serunya dinamika persaingan pemberitaan, serial ini sangat menyentuh saya lewat empati antar-karakter lewat perjuangan banyak keluarga dalam menghadapi cobaan, bangkit dari keterpurukan, memaafkan, dan tetap bersatu sebagai bagian dari keluarga itu.
Kesimpulan akhir saya, serial ini bisa menjadi motivasi terbaik bagi Anda yang sedang dalam persimpangan hidup. Bahwa keputusan yang kita buat akan berpengaruh pada kehidupan orang lain, dan di dunia ini tak hanya keinginan kita yang harus dipenuhi. Tiga episode terakhir bahkan cukup menguras air mata. Ya, saya sangat tersentuh dengan ketulusan manusia yang meninggalkan ego untuk menjadikan keadaan lebih baik.
Terakhir, saya ingin mengajak Anda lebih bijak menerima berita. Cari acuan yang tepat dalam mengakses berita, dan gunakan sosial media sebagai sarana menyampaikan informasi yang bermanfaat, bukan menyesatkan.
*ANITA MAE berkecimpung di dunia entertainmen sebagai presenter sejak 2008. Bermula jadi host acara reality show dan traveling di SCTV, ia pun merambah dunia akting dan modelling. Tapi dunia presenter jadi magnet tersendiri, dan jurnalisme jadi kegairahannya. Kini ia news anchor di salah satu jaringan TV berita Indonesia, sambil mengelola bisnis perhotelan di kampung halamannya di Lombok, NTB.