Dikenal sebagai sineas dengan sentuhan personal, membuat film baginya ibarat perjalanan. Kini ia sodorkan Menunggu Pagi, dinamika anak muda di balik pesta musik.
Teddy Soeriaatmadja kembali bikin film! Kali ini ia suguhkan Menunggu Pagi, setelah Lovely Man (2011) di Festival Film Asia ke-6 antarkan pemeran utamanya, Donny Damara, jadi Aktor Terbaik dan pembesutnya dinominasi Sutradara Terbaik.
Menunggu Pagi diperani Arya Saloka, Arya Vasco, Aurellie Moeremans, Bio One, hingga Raka Hutchison. Juga Putri Marino, Aktris Terbaik, dan Yayu Unru, Aktor Pendukung Terbaik, keduanya meraihnya di ajang FFI 2017 dalam film Posesif, juga didukung Ganindra Bimo, dan Mario Lawalata, Teddy ungkap rahasia panasnya kehidupan anak muda urban, di balik sebuah agenda tahunan pesta musik.
Drama dengan Gaya Tak Biasa
Adianto Sumardjono, dari Investasi Film Indonesia (IFI), datang pada Teddy menyodorkan ide seputar kehidupan anak muda di balik Djakarta Warehouse Project (DWP). “It’s a party film. Secara formula, it’s like a roller coaster. Nggak usah mikir, film enteng aja kok,” seloroh Teddy dalam sebuah obrolan di sebuah kafe di Gandaria City, Jakarta Selatan. Teddy mungkin sedang merendah dengan menyebut Menunggu Pagi sebagai enteng.
Sebelumnya dia membuat trilogi keintiman, karya yang terasa personal Lovely Man (2012), Something in The Way (2013), dan About A Woman (2014). Dua yang terakhir tak beredar di bioskop komersial lantaran Teddy enggan kompromi dengan tajamnya gunting sensor.
Menunggu Pagi kisahkan anak-anak muda yang akrab pesta, hura-hura, narkoba, dan cinta satu malam. Empat orang anak muda ingin datang ke DWP. Datang ke pesta musik tahunan itu dianggap gaul tidaknya anak muda saat ini. Namun itu tak mempengaruhi pandangan Bayu (Arya Saloka), meski sahabatnya Rico (Arya Vasco), Kevin (Raka Hutchison) dan Adi (Bio One) memaksanya hadir di DWP. Pertahanan Rico runtuh saat Sarah (Aurellie Moeremans) datang ke toko vinyl-nya.
Sedikit menengok ke belakang, debut Teddy dimulai dengan Banyu Biru (2005) yang bergaya realisme magis, gaya yang biasa dipakai penyair Amerika Latin, Gabriel Garcia Marquez. Langgam yang tak biasa juga diusungnya dalam Ruang (2006), sebuah romansa yang kontemplatif. Setelah itu ia berturut-turut membesut daur ulang Badai Pasti Berlalu (2007), Namaku Dick (2008), dan Ruma Maida (2009).
Inilah perbicangan seru saya dengan Teddy, di sebuah kafe kawasan Gandaria City, Jakarta Selatan, awal Oktober lalu!
Tumben ide ceritanya dari investor!
Adi punya mimpi bikin film tentang party. Dia hubungi saya kira-kira mau dibikin seperti apa. Kami berkesimpulan, film tentang party harus bisa ditonton di sinema. Party seperti roller coaster aja, bagaimana kita bisa mendapatkan rasa itu. Konsepnya seperti itu secara skenario.
Biasanya film Anda selalu personal. Ini bukan kompromi kan?
Kalau kompromi, nggak. Tiga film terakhir saya memang personal, dan ini bukan. Ini ceritanya tentang DWP, pesta musik terbesar di Asia, yang secara konsep saya harus bikin film yang laku. Approach-nya harus beda dengan film saya sebelumnya. Harus mikir yang dirasakan anak muda yang datang ke DWP.
Kebebasan macam apa dari produser IFI?
Ini beda, dalam arti produser juga punya visi. Dia punya cerita, visi, berarti saya coba menyamakan visi dia dengan what I can offer. Saya tidak diikat saat bikin ini. Yang saya bikin harus mendatangkan penonton. Kalau Something in The Way, Lovely Man itu 60 persen saya buat untuk diri sendiri, terus saya lepas ke bioskop.
Bagaimana tema film Indonesia saat ini? Banyak seperti ini?
Kini banyak sutradara bagus, makin bervariasi, liar. Banyak yang berjaya di festival, seperti karya Mouly, Yosep Anggi Noen. Tiga film saya juga main di festival-festival. Sejak era JiFFest, banyak film seperti itu. Nggak merasa kesepian lagi. Yang saya ingin coba adalah film dengan sensibility, craftsmanship yang bagus tapi mendapat banyak penonton. Kualitas musti kita jaga.