Bak puisi mengejutkan, gelap dan nakal, Prenjak (In The Year of Monkey) besutan sutradara muda Wregas Bhanuteja bikin para juri terkesima. Film ini sukses menyabet penghargaan film pendek terbaik Festival Film Cannes 2016, di Prancis. Bersama empat rekan kru yang hadir pada salah satu festival film terbesar di dunia itu, Wregas pulang ke Tanah Air memboyong Leica Cine Discovery Prize senilai 4.000 euro.
Prenjak bikin para juri Cannes terbahak berkepanjangan. "Setelah melihat akhir cerita, mereka bilang ini pantas menang," tutur Wregas (23), yang dengan film ini mengajak penontonnya menertawai nasib dengan candaan.
Berdurasi 12 menit, film ini merupakan hasil daur ulang karya dengan topik serupa. Saat masih berkuliah di Institut Kesenian Jakarta, sutradara asal Yogya ini membuat Ciblek, film pendek 3 menit. Ciblek, nama burung prenjak Jawa yang suka berkicau, dianggap tepat menggambarkan perempuan muda yang mendapatkan uang dengan menjual diri. Dalam bahasa gaul Yogya, “ciblek” adalah akronim dari “cilik-cilik betah melek” (kecil-kecil doyan melek), untuk menggambarkan gadis-gadis remaja yang suka kongkow dan menjual diri di Alun-alun Kidul, Yogyakarta, hingga larut malam.
Daur ulang karya dan memperpanjang durasi memberi Wregas ruang bercerita dengan lebih efektif. Prenjak bercerita tentang Diah, diperankan oleh Rosa Winnenggar, meminta kawannya, Jarwo (Yohanes Budyambara), membeli korek api kayu yang ia jual Rp 10 ribu per batang. Tawaran Diah sukar ditolak Jarwo; dengan sebatang korek itu, ia bisa melihat tubuh Diah tanpa boleh menyentuhnya. Jarwo pun membeli batang korek lagi, dan lagi. Saat hendak pergi, Diah yang mengantongi Rp 40 ribu, menerima tawaran melihat tubuh Jarwo. Pria itu pun siap membayar Rp 60 ribu lagi agar utang Diah lunas. Berkat korek api itu, listrik di rumah Diah hidup lagi, meski perempuan itu masih enggan menjawab pertanyaan anak balitanaya: "Bapak mana, Bu?"
Sedari awal, Direktur Artistik Charles Tesson, takjub dengan karya ini. "Film dengan kedalaman puitik yang mengejutkan, kelam dan bengal; mencari nafkah sama harganya dengan sekadar permainan korek api," pujinya.
Festival Film Cannes merupakan festival film terbesar di dunia yang tiap tahun menerima pendaftaran 2.000 film, dihadiri kurang lebih 5.000 jurnalis, dan 30.000 sineas profesional dari seluruh dunia. Prenjak mengalahkan sembilan film unggulan lain yang disaring dari 1.500 film dalam La Semaine de La Critique, salah satu festival independen terpenting yang diselenggarakan berbarengan dengan Festival Cannes tiap tahun di bulan Mei. Film Indonesia yang pernah terpilih di sini adalah Tjut Nja' Dhien (Eros Djarot, 1989) dan Fox Exploits Tigers Might (Lucky Kuswandy, 2014).