Tak mau didikte bos studio besar, sejumlah aktris bikin perusahaan sendiri demi kendali kreatif dan bayaran lebih besar. Apa pengaruh rumah produksi milik Vikander, Theron, Witherspoon, Portman, Robbie dan aktris lain di depan dan di balik layar?
Mendirikan perusahaan film kini makin jadi hal biasa bagi aktris seperti Alicia Vikander, Natalie Portman dan Margot Robbie, sebagai cara menentang penguasa industri yang seksis. Tak lagi didikte, mereka kini bisa mendapatkan kendali kreatif dan finansial sepenuhnya. Bagaimana pengaruh perusahaan yang didirikan Reese Witherspoon, Alicia Vikander, Charlize Theron, Natalie Portman, serta deretan aktris lain di depan dan di balik layar?
Ketika Alicia Vikander mendirikan perusahaan filmnya sendiri, aktris asal Swedia pemeran The Danish Girl, Ex Machina dan Tomb Raider ini harus menerima sindiran halus chauvinism terus-menerus, tiap saat ia tampil di sebuah film. Sebelumnya, Vikander terlibat empat film layar lebar di mana ia jadi pemeran utamanya. Tak terhindarkan, ia tak berkesempatan mendapatkan satu adegan pun dengan sesama perempuan lain di salah satu dari film itu. "Sungguh gila," katanya.
Pada film yang ia produksi melalui Vikarious, perempuan selalu terdepan. Seperti dengan karakter Lisa Langseth dalam Euphoria, film pertama yang diproduksi Vikarious yang dibintangi Vikander dan Eva Green, semua karakter utamanya perempuan. "Aku senang berada di mana aku bekerja dengan perempuan, karena belum pernah melakukannya sebanyak itu. Ini menyedihkan," kata Vikander saat berada di Festival Film Zurich yang berlangsung di Swiss pada akhir September lalu. "Aku ingin mendapatkan orang-orang terbaik, paling berkualitas, untuk proyek kami, yang menempatkan perempuan di depan dan di belakang kamera. Kami banyak diskusikan hal ini. "
Vikander bukanlah aktris terkemuka pertama yang memproduseri film lewat perusahaan sendiri. Sejak 1919, Mary Pickford, aktris kesayangan Amerika saat itu yang dijuluki “aktris sejuta dolar", salah satu pendiri United Artists, tak sekadar pebisnis yang cantik, tapi juga bertekad memastikan para bos studio Hollywood memberi bayaran layak. Ia tak hanya menuntut uang muka besar, tapi juga persentase keuntungan, kendali kreatif, serta bagaimana film dipasarkan dan didistribusikan. Setelah era Pickford, mendirikan rumah produksi menjadi hal biasa bagi para aktris.
Hollywood yang belakangan heboh dengan pengungkapan pelecehan seksual yang dilakukan Harvey Weinstein pada banyak aktris, makin memperjelas niatan para aktris mapan mendirikan perusahaan sendiri. Jika terlibat casting dan pembiayaan film, mereka tak wajib mengadakan pertemuan di kamar hotel dengan para bos besar dan sibuk dengan pakaian mereka.
"Makin banyak perempuan sadar, jika ingin peran penting, mereka harus menciptakannya," kata Dr Martha M Lauzen, direktur eksekutif Study of Women in Television and Film yang berbasis di San Diego. "Sementara sejumlah aktris mendirikan rumah produksi sendiri, para perempuan di bisnis ini menggunakan pengaruh mereka mengisi kekosongan yang ditinggalkan sebagian besar tim pria dari penulis dan produser." Menurut Lauzen, para penulis, sutradara dan produsen yang didominasi laki-laki membuat film berdasar pengalaman dan cerita dengan karakter laki-laki. Dengan perempuan mendirikan rumah produksi sendiri, aktris dapat memastikan diri mendapat peran layak, seperti yang dilakukan Sandra Bullock dengan Fortis Films-nya.
Gelombang perubahan sedang terjadi!
“Sebuah riset dilakukan tentang sutradara dan/atau penulis yang menampilkan lebih banyak protagonis perempuan. Menurut penelitian It’s a Man’s (Celluloid) World, film dengan setidaknya satu perempuan sutradara dan/atau penulis akan hasilkan setidaknya 57 persen protagonis. Dalam film yang hanya digarap sutradara dan/atau penulis pria, perempuan hanya berpeluang 18 persen berperan sebagai protagonis,” kata Lauzen.
Selama lebih dari 25 tahun, banyak aktris besar dirikan perusahaan sendiri. Jodie Foster dirikan Egg Pictures pada 1992 (“Ini sangat perempuan, dan tak terdengar seperti mitologi Yunani,” jelasnya tentang nama perusahaan yang dipilihnya pada Entertainment Weekly). Rumah produksi ini hasilkan Nell dan The Dangerous Lives of Altar Boys. Drew Barrymore luncurkan Flower Films pada 1995 dan hasilkan banyak cult movie, dari Donnie Darko, juga Never Been Kissed, hingga Charlie’s Angels.
Natalie Portman kini bekerja melalui Handsome Charlie Films. Penasaran dari mana ia dapatkan nama rumah produksinya? Oh, itu berasal dari nama anjing piaraannya. Rumah produksi Salma Hayek, Ventanarosa Productions, tak hanya perusahaan di balik biopik Frida Kahlo, tapi juga mengembangkan seri TV amat populer, Ugly Betty. Sandra Bullock dirikan Fortis Films di pertengahan 1990-an “demi gaet peran terbaik dan kendali kreatif saat mengembangkan proyek”, seperti pernah ditulis Variety.
Kirsten Dunst punya Wooden Spoons Productions, nama yang ia abadikan demi mengenang sang neneknya yang suka menyuapinya dengan sendok kayu. Lisa Kudrow punya Is Or Isn’t Entertainment yang idenya dari banyak nominasi Emmy Awards yang ia peroleh dari produksi TV. Jennifer Love Hewitt memproduseri dan membintangi drama TV The Client List untuk rumah produksinya sendiri, Fedora Films. UnbeliEVAble Entertainment milik Eva Longoria memproduksi acara untuk penonton Amerika Latin.
Sementara itu, Charlize Theron punya Denver and Delilah Productions, yang memproduksi film dan drama TV indie selama lebih dari satu dekade. “Tokoh perempuan yang mengisahkan para perempuan rumit” adalah apa yang mitra bisnis Theron, Beth Kono, gambarkan tentang rumah produksi ini, yang ingin hasilkan biopik macam Monsters atau thriller seperti Atomic Blonde. Sementara Reese Witherspoon memiliki Pacific Standard, yang jadi perusahaan di balik sukses Gone Girl dan Wild.
Pada 2015, Rose Byrne, aktris Australia yang populer lewat serial Damages, bersama empat perempuan lain senegaranya mendirikan The Dollhouse Collective, perusahaan yang berkomitmen pada misi “female driven storytelling”. Salah satu film pertamanya, film pendek besutan Shannon Murphy, Eaglehawk (2016), secara luas beredar di banyak ajang fesitival.
Byrne sendiri bersama teman Australia, Margot Robbie, baru-baru ini meluncurkan LuckyChap Entertainment baru saja menghasilkan film yang ia bintangi seperti film komedi muram I, Tonya dan thriller berjudul Terminal melalui perusahaan mereka.
Awal musim gugur ini, bintang Game Of Thrones, Maisie Williams, meluncurkan Daisy Chain Productions. Maisie yang hadir dalam pameran dagang media di Inggris mengungkapkan, ia ingin memberi para bakat muda “kesempatan yang pernah saya dapatkan di awal karier saya.” Lena Headey, salah satu bintang Game Of Thrones lain, yang kebetulan juga korban pelecehan Harvey Weinstein belakangan juga memproduseri film tentang pengungsi The Flood.
Bintang Inggris lainnya, Gemma Arterton dari Rebel Park Productions telah aktif selama beberapa tahun, dan Arterton telah lama memprotes seksime yang ia hadapi di industri ini. “Jika kau bikin film tentang perempuan, kau tak akan mendapatkan pendanaan seperti halnya kau membuat film tentang laki-laki,” ungkapnya. Seperti Vikarious milik Vikander, Rebel Park berkomitmen memberi kesempatan bagi sutradara perempuan.
“Para aktris tertarik dengan gagasan produser perempuan dan mereka pun mulai memproduksi sendiri, yang sebelumnya digunakan oleh orang lain. Ini gelombang perubahan," ungkap produser Sleepless In Seattle, Lynda Obst, yang menulis di New Yorker bulan ini tentang periode transformasi sejak era 1980-an dan seterusnya, saat Dawn Steele, Sherry Lansing dan kemudian Amy Pascal jadi bos studio dan ketika banyak film sukses diproduseri perempuan.
Ya, gelombang perubahan sedang terjadi. Para sineas laki-laki, bersiaplah!